Topik Judul

Cari Blog Ini

Jual benih kentang bersertifikat G0 aeroponik dan turunannya (G1, G2)

Jual benih kentang bersertifikat G0 aeroponik dan turunannya (G1, G2)
Lebih sehat, produksi dan kualitas lebih tinggi.. Minat??

Pemesanan Benih Kentang :

Hubungi http://jayamandirifarm.blogspot.com/
atau phone/whatsApp/Line/WeChat/Viber
+62 812 1919 2065
0812 1919 2065

email : vansekar@yahoo.co.id

LAYANAN KONSUMEN JM FARM :

Free/Gratis Khusus Konsumen :
- Panduan budidaya perbenihan kentang
- Konsultasi teknologi perbenihan kentang
,
Diskon Khusus Konsumen : Pembelian diatas jumlah minimum

Sabtu, 26 Januari 2013

Enakan jadi orang eksak atau sosial?

Kemarin, saya nengokin keponakan saya yang diterima di sebuah BUMN dan saat ini sedang di"gojlog", entahlah apa kata yang tepat, mungkin seperti Pra Jabatan, kalau di PNS. Tumben dia minta ditengok, padahal meski sama2 di rantau, waktu dia kuliah pun, ga pernah minta ditengok, apalagi minta tolong. Baru waktu wisuda, dia pinjam motor untuk transportasi selama ortunya datang. Ya, waktu kakak sepupu saya datang.

Honestly, saya salut dengan Puput. Dengan keterbatasan, bisa cepat lulus dan cepat kerja pula. Pasti bangga kakak sepupu saya. Selain karena (mestinya) dia smart, mungkin karena dia lulusan universitas negeri terkenal dan lucky. Hmhm lucky emang ga bisa dibeli.. Dan ga bisa dipungkiri, bersyukurlah bila menjadi alumni universitas terkenal, pasti laku dimana2 deh..

Hmhm.. Puput mengingatkan saya saat awal kerja PNS dulu.. Dan saya mensyukuri semua blessing dari Allah SWT.. Alhamdulillah..

Tapi bukan itu yang akan saya bahas.. Ada 3 periode pemikiran saya tentang bidang ilmu untuk mencari pekerjaan.
#1# Periode pertama. Kebetulan karena saya orang pertanian, saya tergolong orang eksak. Semasa kecil, kalau main rumah-rumahan, saya selalu menokohkan diri saya dengan gelar pendidikan yang berderet2. Entah kenapa. Pengen jadi dokter, tapi ga kesampaian, jadi deh pengen jadi insinyur.. Hmhm kayaknya keren (Maklum, masih kecil saat itu)..

#2# Periode kedua. Setelah awal memasuki dunia kerja, kok sepertinya, yang sering jadi bos justru orang sosial sih.. Justru orang2 insinyur, orang eksak cuman jadi anak buah saja, diperintah2 ama anak manajemen, akuntansi, hukum, etc.. Udah kuliahnya capek, lama, sulit, masak malah hanya diperintah sama anak sosial.. Coba liat bos2, direktur2, kebanyakan orang sosial. Padahal, sepengetahuan saya saat itu, kuliahnya anak sosial seperti maen2 aja, paling banter diskusi.. Beda dengan orang eksak yang harus ke laboratorium, ke lapangan dlll... Huhuhu..

Sempat punya teman senior. Ahli teknik kimia, lulusan universitas negeri terkenal, pintar bikin segala macam formula. Anehnya, mohon maaf, kok untuk hidup aja susah..
Pasti ada yang ga beres nih dengan para orang eksak.. Tapi saat itu tidak tau, apa sih sebabnya..

Sempat kepikir, kalau punya anak nanti, jangan disuruh kuliah eksak. Cuman jadi anak buahnya orang sosial. Mending jadi orang sosial aja. Kuliahnya cepat, biaya relatif lebih murah, ga cape, cepat lulus, cepat kerja, lapangan pekerjaan lebih luas dan fleksibel, mudah jadi bos pula.. hehe..
Bahkan, saat sodara pengen kuliah di eksak, saya komentarin, ngapain susah2 kuliah di eksak..

#3# Periode ketiga baru saya alami setelah saya mulai punya usaha sendiri.. Ternyata, expert itu memang perlu dan si expert juga bisa jadi bos sendiri, asal smart and bisa berlaku seperti orang sosial..

Untuk menjadi tidak pasaran, memang harus unik. Dan untuk menjadi unik, memang perlu expert. Untuk menjadi expert yang ga pasaran, nah, bersyukurlah orang2 eksak.. Ilmu eksak yang kita pelajari saat kuliah, ga mudah ditiru oleh orang2 pasaran..

Nah, kenapa kok jarang orang eksak ga bisa jadi bos? Dugaan saya karena biasanya orang eksak terlalu kaku, kurang luwes, management-nya kalah dibandingkan orang sosial. Honestly, saya juga mengakui hal itu, untunglah hubby saya yang men-cover my weakness.. hehe.. Tapi Insya Allah ini bisa dipelajari dengan banyak2 bergaul dengan sesama wirausahawan.

Sekarang ini, bila ditanya, sebaiknya kuliah ambil jurusan apa. Tentu donk, hidup eksak!!
Untuk menjadi unik, emang harus jadi expert..

Pendidikan atau Pengalaman ?

Ibaratnya penjual kecap, kecap miliknya lah yang terbaik. So, no debatable. Semua penjual pasti akan selalu bilang barangnya lah yang terbaik

Nah, kalau diminta milih, produk pertanian terbaik dibuat oleh praktisi pertanian atau ilmuwan pertanian (baik akademis maupun peneliti)? Atau pertanyaannya sebaiknya saya ganti, mana yang lebih penting, pengalaman atau pendidikan?

Berhubung saya "merasa" berada dikedua belah pihak, tentu saya ga ngebelain salah satu. Saya merasa perlu kedua2nya. Konon katanya, usaha tanpa pengalaman seperti dalam hutan belantara, sedangkan usaha tanpa pendidikan akan mudah tertipu..
So, syukur Alhamdullillah, nikmat tak terhingga saya rasakan.. Wujud syukur saya, tentu dengan terus belajar meski nanti sudah jadi Doktor, dan terus ber-agri-entreprenuer ria dengan menganalisa pengalaman saya dengan ilmu yang saya peroleh..
Saya sampaikan begini, karena banyak teman kuliah S1 saya malah berprofesi diluar pertanian, ataupun melihat teman sesama pengusaha pertanian, tapi bingung dengan kondisi pertanamannya, yang menduga2 kenapa tanaman begini begitu..

Pendidikan penting?
Ya, bagaimanapun, setiap kasus dapat dikembalikan ke dasar teorinya. Meskipun teorinya terkadang belum sempurna, kita dapat memodifikasinya. Contoh, pengomposan pada dasarnya membuat bahan organik menjadi anorganik agar mudah diserap tanaman. Waktu kuliah/kursus, pasti deh diajarin bagaimana perombakannya, bentuk kimianya apa, mikroorganisme pembantu pengomposan apa dll.. Puyeng deh kalau mo ujian ngapalinnya..

Pengalaman penting?
Ya, karena kalau belum pernah nyoba dan hanya sekedar tahu teorinya doang, sama juga boong. Setelah pernah nyoba, baru tau deh gimana ga enaknya bau kotoran ternak yang mau dikomposin untuk dicampur2 dengan bahan lain.

Pendidikan + pengalaman penting?
Ya, meskipun hanya sekedar ngomposin, ada trik agar kompos bener "jadi".
Berdasarkan teori, pada awal pengomposan, sering terjadi persaingan N antara mikroorganisme dan tanaman, jadi bila kompos belum matang dan diberikan ke tanaman, sering tanaman malah mati.. Ada yang ngakalin dengan memberikan tambahan N saat pengomposan. Fenomena ini sering dikenal dengan memperhatikan CN rasio pupuk kandang.. CN rasio terbaik 10-15..
Ada trik berdasarkan pengalaman lain, penutupan kompos sebaiknya dengan plastik berwarna gelap, agar mikroorganisme tidak ikut mati kena cahaya matahari..
Pas ngolah tanahnya pun, kompos sebaiknya terbenam tanah, jangan sampai terkena cahaya matahari.. Bila terkena cahaya matahari, kompos malah ga bisa nyerap air dengan maksimal..
dst... dst...

But, jangan kuatir, bagi teman2 petani yang tidak sempat mengenyam pendidikan pertanian, tidak ada kata terlambat.. Belajar bisa dimana aja. Bisa di internet, buku2 pertanian, ikut kursus, magang, dll..

Juga bagi para ilmuwan, yang asyik aja ngotak-atik di laboratorium, ato cuman nyuruh2, perintah sana sini ke teknisi, litkayasa, pesuruh, please deh.. Terjunlah ke lapangan. Banyak indigenous technology di tingkat petani yang tidak akan ditemukan di jurnal, diktat kuliah, ato buku2 text book.. Karena terkadang, disinilah rahasianya..

Rabu, 23 Januari 2013

Akhirnya, inilah manfaat hasil penelitian G0 Aeroponik saya

Setelah dianalisis dan jadi draft jurnal, Alhamdulillah baru deh yakin percobaan saya berhasil meningkatkan persentase stolon efektif, yang berujung peningkatan jumlah umbi G0 aeroponik.. Habis, percobaan sebelumnya, perasaan hasil percobaan lebih baik, tetapi pas diuji statistik, ternyata ga beda nyata.. Huff..

Dan Alhamdullilah deh, yang terakhir, berhasil.. Bukan saja jumlah umbi yang meningkat, tetapi kualitas umbi meningkat, jadi lebih besar dan seragam bulat.. Less sessile tuber. Yup, selain memperhatikan umur fisiologis tanaman, perkembangan stolon dan umbi, jadi ketahuan kuncinya.. Dan, bisa ngikutin teknologi dari luar negeri sana, yang sebelumnya, ga mungkin dilakukan di Indonesia.. Insya Allah, akan terus ditingkatkan.. Penasaran? Tunggu sidang terbuka saya ya..

Konsekuensinya, Alhamdullilah, memenuhi permintaan benih G0 konsumen yang selalu kehabisan, screen saya yang semula untuk G1 akan saya ubah bertahap menjadi G0 aeroponik semua.. Rasanya, sudah cukup saya mendapatkan standart teknologi aeroponik, sehingga tinggal perluasan saja. Maklum, salah sedikit saja perlakuan di aeroponik, bisa bikin gigit jari. Meskipun masih banyak rasa penasaran saya yang belum   terjawab, tapi dengan berjalannya waktu bisa dijawab bertahap..

Saat ini saya lagi bangun instalasi aeroponik yang baru, dengan desain berdasarkan perbaikan sebelum2nya.. Ga perlu mahal, tapi Insya Allah dapat menjamin tanaman kentang untuk rajin berumbi..
Insya Allah, musim hujan depan, G0 saya bisa dibeli oleh khalayak umum
dan berita baik KHUSUS petani mitra G2 saya, Alhamdullilah, bisa mendapatkan benih G0 untuk produksi G2.. Artinya? Silahkan renungkan sendiri.. How good my seed is !!

Sabtu, 19 Januari 2013

Jurnal Internasional oh Jurnal...

Halooow.. Lama euy, ga ngeblog..
Hehe.. Akhir tahun kemaren, sempet stress dapat berita klu mahasiswa S3 harus terbit jurnal internasional untuk melakukan ujian tertutup setelah 11 Februari 2013. Duh, mules deh.. Mo ngejar sebelum deadline, huff, selain dosennya sibuk, masih ada satu percobaan yang belum saya apa2in datanya.. Ampyun deh, malasnya saya.. Setelah diklarifikasi, ternyata "hanya" submit aja bila ujian sebelum 1 Agustus 2013.. Sedikit lega.. Meskipun hanya submit, tapi tetep mikir juga nih, apa ya jurnal internasional target saya.. Huff, jadi mundur nih ujiannya..
Tapi ada manfaatnya juga sih shock therapy di akhir tahun itu. Percobaan terakhir saya selesai jadi draft jurnal dalam seminggu dan minggu lalu selesai sidang komisi .. Hehe, tau gitu, ngapain aja saya kemarin2 ya.. Nyesel deh.. 

#1# Ngomongin soal jurnal internasional, jadi pengen comment soal status FB sodara saya yang dosen. Dia heran, kok bisa mahasiswa baca 100 jurnal internasional, padahal dia baca 35 jurnal aja perlu berminggu2..
Entah bermaksud nyindir beberapa oknum mahasiswa, yang suka ngaku2 baca banyak, padahal hanya sitiran aja..
 
Klu ditanyain ke saya sih, possible banget tuh.. Kebetulan, jurnal literatur saya kebanyakan jurnal internasional karena kentang merupakan komoditas yang banyak dikupas di tingkat internasional. Berapa jumlahnya? wow, lebih lah dari 100.. Kok bisa banyak? Karena selain untuk penelitian saya, saya juga perlu tau kentang dari berbagai aspek untuk usaha perbenihan kentang saya. So, meski penelitian saya tentang aeroponik, saya juga searching topik2 lain. So, wajar kan saya punya banyak jurnal..

Next question, apa semuanya saya baca? Pertanyaannya saya balik, apa perlu saya baca semua? Tentu donk, tidak saya baca semua. Ngapain, kayak punya banyak waktu aja. Yang saya baca, tentu yang menarik dan penting, menurut saya.. Dilihat dari judul dan abstrak kan kelihatan, seberapa menarik dan penting jurnal tersebut..
Di dalam ujian TOEFL, ada sesi reading. Di situ saya belajar, tidak perlu kita membaca semua paragraf, karena inti paragraf sering berada di awal atau akhir paragraf. Klu ketemu yang menarik dan penting, baru deh, isi paragraf dipahami secara seksama.. Getoo..   


#2# Beberapa hari lalu, saya dimintain teman supaya membagi jurnal bacaan saya karena topik penelitian kami hampir sama, cuman beda komoditas. Alasannya, tidak ada literatur topik penelitian tersebut pada komoditasnya.. Memang saya bagi, tapi ada saran saya untuk dia dalam searching jurnal berdasarkan pengalaman saya, sayangnya ga dianggap.. Entah karena malas, ato malas... Tauk deh..

Pentingnya key word.. Dengan semakin pahamnya saya tentang kentang, key word saya jadi lebih mengena dengan apa yang saya cari. Artinya jangan sepelekan key word, karena mesin searching sering menampilkan key word yang banyak dikunjungi berada pada pilihan teratas, padahal belum tentu itu yang kita cari.. Beda key word, maka beda pula result-nya..
So, be smart dengan pilihan key word, terutama bagi mesin searching kayak Google.. Hasilnya sangat, sangat bervariasi..

#3# Soal perlunya terbit jurnal internasional bagi mahasiswa S3.. Awalnya, agak empet juga sih dengarnya. Pertama, soal biayanya, yang tentu dibebankan ke si mahasiswa. Kedua, tambah lama donk lulusnya, padahal, katanya harus cepat2 lulus. hmhm.. kontradiktif banget.. Ketiga, kualitas penelitian harus lebih baik..
Soal biaya, Alhamdullillah, kantor pusat saya membiayai.. Soal lulus jadi lebih lama, hmhm.. perlu diantisipasi deh bagi mahasiswa2 yang mo S3 untuk jauh2 hari mempersiapkannya.. Soal kualitas penelitian harus lebih baik? huff inilah yang agak mencemaskan melihat dana penelitian yang menurun, biaya analisis laboratorium yang meningkat.. Meskipun bisa diakalin, cari jurnal internasional yang ringan2 aja.. hehe

Semakin lama, dengan naiknya gaji dan tunjangan PNS, rupanya aturan mulai dibenahi dengan lebih ketat. Ga boleh begini begitu, harus begini begitu, tapi tunjangan naik..
#a# Harapannya, dengan mengetatkan aturan dengan jurnal internasional, produk penelitian Indonesia lebih dikenal di dunia internasional. Good..
#b# Lulusan S3, doktor juga menjadi lebih berkualitas. Klu ga mampu, ya jangan nerusin S3-lah.. Maklum kompetisi semakin tinggi.. Kadang, miris juga sih liat ada doktor yang ga paham bidangnya sendiri. Mungkin cuman butuh gelarnya aja untuk karirnya.
#c# Dengan dipaksa nulis jurnal internasional, harapannya, setelah lulus, sudah pengalaman gaul dg internasional dan selanjutnya, diikuti dengan jurnal2 internasional berikutnya..

Hehe.. ini harapan lho...